A Confession, Wine and Us

A Confession, Wine and Us

Author : Fai

Cast :

  • Lu Han | EXO’s Luhan
  • A Girl | YOU/readers
  • Wu Fan | EXO’s Kris

Genre : I don’t know..

Rating : T

Length : ficlet (2921 words)

Disclaimer : this is officially mine (inspired by a story), but the casts are not mine, but Luhan is my brother(?) /slapped/
N.B. : hmm.. Pertama, saya cuma mau ngungkapin apa yang saya pikirkan tentang Luhan dari FF ini. Luhan mempunyai ‘sesuatu’ di balik wajah polosnya. Saya bisa melihat hal itu dari matanya. Sesuatu yang..entahlah. He really has something that we never can realize. I just wrote what I thought about him. Just it. /ngomongapasih/ /slapped/

…I hate these truths…

 

Luhan meremas-remas jari tangannya sendiri. Ia hanya memakai sweater coklat miliknya. Udara malam saat ini cukup membuatnya merasa kedinginan walaupun perapian di dalam rumahnya sudah dinyalakan.

Di luar, salju masih turun dengan lebat. Sedangkan di dalam, rumah itu terlihat sepi. Dengan warna lampu yang agak redup, perapian yang menyala, dan musik yang mengalun lembut dari sebuah piringan hitam. Luhan suka suasana ini.

“Luhan.”

Laki-laki berambut coklat keemasan itu menoleh. Senyumnya merekah saat ia melihat sesosok gadis yang kini tengah berdiri di depannya.

“Bahan makanan untuk malam ini sampai besok pagi sudah habis.”

Luhan menatap gadis itu dengan tenang. Ia berjalan mendekati gadis itu dan memeluk pinggangnya dari belakang. Ia menempelkan dagunya di bahu gadis itu.

“Tidak masalah selama aku masih bisa bersamamu,” bisik Luhan di telinga gadis itu.

Bisikkan halus Luhan barusan membuat gadis itu merinding. Terlebih, nafas dingin Luhan itu menyapu bagian lehernya.

“Apa kau tidak ingin makan? Tidakkah dirimu merasa lapar?”

Luhan semakin mengeratkan pelukkannya pada gadis itu.

“Tidak. Tidak sama sekali,” bisik Luhan tepat di telinga gadis itu. Bibirnya menyentuh bagian ujung telinga si gadis dan hal itu membuatnya merinding.

“Baiklah, aku akan kembali ke dapur untuk mencari–”

“Tidak usah. Tetaplah di sini,” pinta Luhan. “Oke?”

Laki-laki itu melepas pelukkannya dan duduk di sofa yang posisinya tidak begitu jauh dari perapian. Luhan bersandar di sofa tersebut sambil menatap gadis itu dengan tatapan memohonnya.

Gadis itu terlihat ragu. Beberapa detik kemudian, dia terhasut oleh rayuan Luhan dan duduk di sebelahnya—tepatnya di atas pangkuan Luhan.

Lama mereka terdiam. Hanya musik dari piringan hitam itulah yang mengalun lembut di telinga mereka berdua.

“Luhan..,” panggil gadis itu. Dia tidak mau menatap Luhan. Ia menatap lekat api yang menyala-nyala di depannya.

“Ya, sayang?” jawab Luhan. Jari-jari tangannya menyisir lembut rambut coklat gadis di pangkuannya itu.

“Aku ragu dengan semua ini. Aku sudah tidak sanggup,” gadis itu setengah berbisik. Dia masih tidak mau menatap Luhan.

“Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu?” tanya Luhan. Jari-jarinya masih menyisir pelan rambut gadis tersebut.

“Aku merasa telah mengkhianati banyak orang,” jawab gadis itu dan sedikit menjauh dari Luhan. “Terutama pada orang tua kita.”

Luhan tidak terkejut mendengarnya. Ia justru tersenyum tenang.

“Munafik.”

Sebuah kata yang keluar dari bibir Luhan barusan membuat gadis itu mendelik. Ia menatap Luhan dengan tajam.

“Apa kau bilang?”

“Munafik.”

Gadis itu kembali terdiam. Ia berusaha mencerna perkataan Luhan barusan. Seolah tahu isi pikiran gadis tersebut, Luhan kembali angkat bicara.

“Ayah dan ibu hanya penghalang untuk kita berdua. Tidak usah pikirkan mereka berdua. Sekarang hanya ada kau dan aku.”

Luhan mendekatkan dirinya pada gadis itu. Ia mengulurkan tangannya untuk merangkul bahu si gadis.

“Kita sudah berjuang sejauh ini.. Apa kau mau menyerah begitu saja?”

Bisikkan Luhan tersebut sangat mematikan bagi gadis itu. Bibirnya mengecup kecil telinga gadis itu. Dan lagi, gadis itu merinding akibat perlakuan Luhan.

“Tapi, kita memang salah, Luhan.”

Luhan memeluk tubuh gadis itu dengan erat. Tidak ada perlawanan dari sang gadis.

“Aku sudah membawamu pergi ke negara ini dan menyewa rumah ini untuk kita, cantik. Kita bahkan telah mengganti kewarganegaraan dari warga negara China menjadi warga negara Korea Selatan. Tidak ada yang tahu tentang identitas kita,” ujar Luhan tenang. “Kecuali si brengsek Wu Fan.”

Gadis itu kesusahan untuk menelan ludahnya sendiri.

“Luhan, kupikir laki-laki bernama Wu Fan itu benar. Kita yang salah. Seharusnya dari awal aku menyadari hal ini,” gadis itu terdengar sedikit gelisah. Luhan sedikit marah mendengarnya.

“Jadi, kau menyesal atas semua hal yang telah kita lewati?” tanya Luhan dengan amarah yang meluap-luap. “Aku sudah berkorban cukup banyak untuk kita berdua. Kau mau menyia-nyiakan seluruh perjuangan kita berdua sejauh ini?”

Gadis itu menggeleng cepat. Tangannya menggenggam erat tangan Luhan.

“Maaf, bukan begitu maksudku,” jawab gadis itu. Jawabannya nyaris tidak terdengar oleh Luhan. “Hanya saja selama beberapa hari ini aku merasa dihantui rasa bersalah pada ayah dan ibu.”

“Sudah kubilang kau tidak perlu memikirkan hal itu, nona,” ujar Luhan. “Aku akan menjamin kebahagiaan kita berdua.”

Gadis itu mendesah pelan. Dia tidak tahu harus bicara apalagi.

“Tapi..,” gadis itu terlihat gugup. Luhan menatap gadis itu dengan bingung. “Tapi apa?”

“Kita adalah saudara kandung, Luhan,” gadis itu nyaris berbisik. “Kau adalah kakak laki-lakiku dan aku adalah adik perempuanmu.”

Luhan terdiam sejenak.

“Hukum itu tidak berlaku untukku.”

Kali ini giliran gadis itu yang terdiam.

“Kita telah membuat banyak dosa dan kesalahan, Luhan,” gadis itu menggigit bibir bawahnya. Dia menatap Luhan tidak yakin. “Aku.. Aku..”

“Apa?” Luhan memotong kalimat gadis itu. Terlihat dengan jelas ada api emosi di dalam matanya itu. Dia tidak bisa marah pada gadis ini, tapi amarah di dalam matanya itu telah menjelaskan seluruh perasaannya pada gadis itu. Dia sangat marah.

“Maaf,” ujar gadis itu.

Kedua orang ini memang memiliki hubungan saudara kandung. Mereka berasal dari keluarga yang sama. Hal itulah yang mereka berdua ketahui.

Tapi, bagi Luhan, cinta tidak memiliki batas. Walaupun ia adalah kakak dari gadis yang ada di depannya saat ini, hal itu bukanlah penghalang baginya untuk menyayangi bahkan mencintai gadis itu. Ia benar-benar telah dibutakan oleh cintanya.

Luhan memejamkan kedua matanya dan mempererat pelukannya pada gadis itu. Sedangkan gadis itu, dia tidak tahu harus bagaimana. Semua ini benar-benar di luar kendalinya. Ntah hantu apa yang telah merasuki mereka berdua sehingga keduanya bisa saling jatuh cinta seperti ini.

“Luhan, aku benar-benar merasa bersalah pada ayah dan ibu. Aku telah mengecewakan mereka berdua,” ujar gadis itu. Dia sedikit menjauh dari Luhan dan tidak berani menatap kedua matanya.

“Nona, lihat aku.”

Gadis itu tidak menurut. Dia menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap Luhan.

“Nona.”

Gadis itu masih terdiam. Dengan perlahan ia mengangkat kepalanya untuk menatap kedua bola mata milik Luhan. Mata mereka berdua bertemu. Luhan menatapnya tajam.

“Berhenti merasa bersalah. Hanya ada kau dan aku. Untuk saat ini tidak akan ada orang yang bisa menjadi penghalang kita, dan aku harap akan selalu begitu. Lupakan semua rasa bersalahmu itu.”

Gadis itu kembali menggigit bibir bawahnya. Terlihat jelas dari matanya bahwa ia sangat ragu.

“Ck,” Luhan mendecak kesal karena gadis di depannya ini masih goyah pada pendiriannya sendiri.

Luhan mengulurkan tangannya untuk meraih wajah gadis tersebut. Ia menyentuh rahang bawah gadis itu dan mendekatkan wajah gadis itu ke wajahnya.

Singkat cerita, bibir mereka bertemu. Ini adalah ciuman pertama mereka. Benar-benar yang pertama kalinya. Luhan mengemut kecil bibir gadis itu seolah ia sudah sering melakukan hal ini. Dan ajaibnya, gadis itu tidak menolak padahal sulit baginya untuk menerima hal ini.

Beberapa detik kemudian, Luhan melepas ciumannya. Bibir merah gadis itu terlihat sedikit basah.

“Kau terlalu banyak pikiran, nona.”

Gadis itu kesusahan menelan ludahnya sendiri. Ini benar-benar pertama kalinya ia berciuman dengan kakaknya sendiri.

“A-aku—”

“Kenapa? Mau kucium lagi?” goda Luhan seraya terkekeh kecil. Gadis itu membulatkan kedua matanya.

“A-apa? Tentu saja ti—mm—”

Dengan cepat, Luhan kembali mengecup bibir kecil adiknya itu. Kali ini ia melakukannya dengan cara yang lebih lembut—sampai-sampai gadis itu terlalu larut dalam ciuman mereka dan melupakan dunianya.

“Aku tidak bisa berbohong. Rasanya sangat manis dan hangat,” ujar gadis itu malu-malu. Kedua pipinya merona merah. Luhan tertawa kecil dan tersenyum lebar mendengarnya. “Aku tahu.”

Gadis itu terdiam dengan posisi membelakangi Luhan, berbeda dengan Luhan yang tidak henti-hentinya tersenyum. Dia mencubit kecil pipi gadis itu.

“Lalu, bagaimana dengan Wu Fan yang sudah mengetahui keberadaan kita di sini?” tanya gadis itu. Luhan mendecakkan lidahnya—dia kesal.

“Laki-laki brengsek itu akan segera kusingkirkan. Tidak ada yang perlu kau takutkan,” jawab Luhan.

Laki-laki bernama Wu Fan itu adalah kerabat dekat keluarga Luhan. Dia mengetahui semua hal tentang hubungan Luhan dan adiknya. Wu Fan adalah orang yang memberitahu tentang hubungan Luhan dan adiknya kepada kedua orang tua Luhan. Maka dari itu, Luhan memutuskan untuk membawa kabur adiknya itu dan menjadi warga negara Korea Selatan (tanpa meninggalkan kabar sama sekali). Ia menyewa sebuah rumah di daerah Busan dan ia jugalah yang menanggung beban hidup mereka berdua. Luhan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Dan belum lama ini, Wu Fan mengetahui keadaan mereka berdua. Belakangan ini juga Wu Fan tengah mencari keberadaan mereka berdua.

“Kau masih ragu?” tanya Luhan. Gadis itu berbalik untuk menatap Luhan lalu mengangguk.

Luhan mengulurkan tangannya untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia memeluknya dari belakang. Jantungnya berdetak tidak karuan. Gadis ini telah memporak-porandakan hatinya.

“Apa lagi yang kau ragukan?” tanya Luhan setengah bergumam. Kepalanya bertumpu di bahu gadis itu. Deru nafasnya membuat gadis itu sesak nafas.

“Aku..,” gumam gadis itu. Ia menggigit bibir bawahnya. “Aku menyayangimu. Tapi aku juga sangat menyayangi ayah dan ibu.”

Luhan menghela nafas berat.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan untukmu, nona?”

Gadis itu menatap Luhan dengan takut.

“Aku memutuskan untuk menyerah.”

Luhan hampir terlonjak dari sofanya. Dia membulatkan kedua matanya. Emosinya meluap-luap.

“Kau mau menyerah begitu saja?! Kita sudah melangkah sejauh ini dan kau tiba-tiba ingin menyerah?!”

Ssstt..

Gadis itu menempelkan jari telunjuknya di bibir Luhan. Dia menatap Luhan dengan kedua mata yang sayu.

“Kumohon,” pinta gadis itu. Dia tidak sanggup lagi untuk menatap kedua bola mata Luhan. “Selama ini aku selalu dihantui rasa bersalah. Aku tidak mau perasaan itu terlalu larut. Aku.. Aku—”

“Kau ini gadis yang cerewet. Tidak bisakah kau menghargaiku yang sudah berusaha sejauh ini?” ujar Luhan memotong kalimat gadis itu. Jarak wajah mereka berdua lumayan dekat. Hembusan nafas Luhan terasa sangat dingin. Dia menatap mata gadis itu dengan tajam.

“Maaf. Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan semua ini,” gumam gadis itu.

Rahang bawah Luhan sedikit mengeras. Dia menatap adiknya itu yang tengah menunduk—tidak berani menatapnya.

“Aku tahu cara yang tepat agar kita bisa berpisah.”

Gadis itu terperanjat mendengarnya. Kedua matanya membulat dengan sempurna. Dia menatap Luhan senang.

“Benarkah?”

Luhan mengangguk.

“Tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambil dua gelas wine untuk kita berdua,” ujar Luhan lalu berdiri dan berjalan menuju dapur.

Gadis itu merasa senang. Perasaan senang itu meluap-luap di dalam hatinya. Tapi, di sisi lain dia juga merasa sedih. Sedih karena harus berpisah dengan kakak yang sangat ia cintai itu. Dan ia sadar kalau hal itu sangat salah.

Tak lama kemudian, Luhan kembali dengan dua gelas wine di tangannya. Dia duduk di sebelah adiknya dan memberikan segelas wine pada gadis itu.

“Minumlah,” ujar Luhan. “Setelah itu aku akan menjelaskan apa yang aku pikirkan.”

Gadis itu menurut. Ia menenggak wine miliknya dan menyisakan seperempatnya. Sedangkan Luhan, ia menghabiskan wine miliknya dan menaruh gelas itu di atas meja.

“Aku harap ini adalah cara yang tepat untuk berpisah,” gumam Luhan—tersenyum paksa. Gadis itu menaruh gelas kacanya di atas meja dan menatap Luhan penasaran.

“Kau belum mengatakan padaku tentang idemu itu, Luhan,” ujar gadis itu. Sorot mata Luhan sangat tajam sehingga seolah membuat darah di dalam tubuh gadis itu berhenti mengalir. Dengan cepat, Luhan mengecup kecil lagi bibir gadis itu.

“Lu—Luhan..”

Gadis itu tergugup seraya meraba-raba bibirnya yang agak basah. Jari-jarinya terasa sangat dingin. Wajahnya merona merah lagi.

“Kau ini gadis yang munafik,” umpat Luhan—tertawa dingin. Dia mengecup kecil telinga gadis itu dan berbisik di telinganya. “Kau bilang merasa bersalah pada ayah dan ibu, tapi kau sendiri ternyata menyukai kecupan dariku.”

Wajah gadis itu semakin merah. Sangat merah.

“A-aku..”

“Apa? Masih mau mengelak?”

“Ti—tidak, Luhan.”

Gadis itu terdiam. Luhan tertawa karena ia berhasil membuat gadis itu kehabisan kata-katanya.

Tiba-tiba saja, gadis itu memeluk Luhan dan menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki itu. Rasanya sangat nyaman dan hangat.

“Aku sangat mengantuk,” ujar gadis itu. Luhan memainkan rambut coklat adiknya itu. “Mungkin pengaruh wine tadi, makanya aku merasa mengantuk.”

Luhan menyunggingkan senyum kecil di wajahnya. Dia mengelus lembut pipi gadis itu.

“Tapi kepalaku juga terasa sangat pusing,” lanjut gadis itu lagi. Dia berusaha untuk mengusir rasa sakit di kepalanya.

“Setelah aku pikir lagi, ternyata cara ini memang cara yang tepat untuk berpisah,” bisik Luhan di telinga gadis itu.

“Apa itu, Luhan? Kumohon, katakan padaku.”

“Kau akan segera mengetahuinya, dear one.”

Di luar, salju masih turun dengan lebat. Sedangkan di dalam, perapian menyala dengan hangat. Musik masih mengalun lembut di dalam ruangan itu, juga dengan segelas wine anggur merah di atas meja. Ditambah, dalam keadaan seperti ini kau bisa memeluk orang yang kau sayang. Dan Luhan, ia kembali mengecup bibir adiknya itu. Sungguh.. Ini adalah momen yang sangat manis. Tapi tidak untuk sepasang kekasih yang sebenarnya mempunyai hubungan kakak dan adik.

“Luhan, kepalaku sakit sekali. Sungguh.”

Gadis itu mengerang kecil. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.

“Sangat sakitkah?” tanya Luhan khawatir. Gadis itu hanya mengangguk. “Ternyata cepat sekali efeknya.”

Gadis itu mengernyitkan dahinya pertanda tidak mengerti.

“Maksudmu?”

Luhan mengelus lembut pipi gadis itu. Dia tersenyum menyeringai dan terlihat rasa bersalah di dalam kedua bola matanya itu.

“Aku telah memasukkan racun ke dalam wine milikmu tadi.”

DEG!

“A-apa? Luhan, tolong katakan padaku bahwa kau hanya bercanda.”

Gadis itu berusaha mengusir rasa sakit di kepalanya. Ditambah kenyataan yang membuatnya merasa terpukul saat ini. Luhan—kakak laki-lakinya yang sangat ia sayangi itu telah membubuhkan racun ke dalam wine yang tadi telah ia minum. Ini tidak nyata. Luhan tidak sejahat itu.

“Inilah cara untuk berpisah denganmu, nona,” bisik Luhan tepat di telinga gadis itu. “Aku terpaksa membunuhmu. Membunuh orang yang sangat aku cintai.”

Gadis itu mengerang kesakitan. Dia tidak percaya. Dia tidak mau mempercayai pendengarannya kali ini.

“Kenapa kau melakukan hal itu, Luhan.. Kau.. Kau..,” gadis itu tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Hatinya terasa perih. Dia benar-benar tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi.

“Racun yang kumasukkan ke dalam wine-mu tadi akan menyebabkan gangguan aliran cairan di dalam otak. Setelah itu dirimu akan memiliki akumulasi cairan serebrospinal yang tidak normal dan selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya bagian-bagian yang vital,” jelas Luhan. Ia mendekap gadis itu dengan erat. Bibirnya terasa berat untuk mengatakan semua ini.

“Dan setelah itu, kau akan mati.”

DEG!

Gadis itu mulai menangis. Ia ingin mendorong Luhan untuk menjauh darinya, tapi ia tidak punya banyak tenaga untuk melakukan hal itu. Luhan semakin memeluknya dengan erat.

“Maafkan aku.. Maafkan aku.. Maafkan aku..”

Luhan tidak henti-hentinya meminta maaf pada gadis itu. Dia memeluk gadis itu dengan erat. Air matanya menetes dan membasahi wajah adik perempuannya itu.

“Kau jahat, Luhan. Kau sangat jahat! Aku bersumpah tidak akan pernah membiarkanmu hidup dengan tenang,” ujar gadis itu. Kepalanya terasa seperti berputar-putar. Sakit sekali rasanya. Mungkin racun itu telah memasuki bagian vitalnya dan menyebar ke seluruh tubuhnya.

Hal ini memang sudah lama direncanakan oleh Luhan. Kalau saja sewaktu-waktu ia harus melepas gadisnya ini, ia akan membunuhnya dengan memasukkan racun ke dalam makanan atau minumannya. Dan inilah hari di mana Luhan membunuh adiknya itu.

“Maafkan aku.. Maafkan aku.. Aku memang jahat. Ya, aku sangat jahat. Maafkan aku yang terlahir sebagai kakakmu. Aku menyesal karena telah terlahir sebagai kakakmu. Maafkan aku..”

Luhan menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar merasa bersalah. Ia terpaksa membunuh adiknya sendiri—demi membunuh rasa cintanya juga.

“Aku sangat mencintaimu, Luhan. Aku sangat.. Aku.. Aku—”

Gadis itu tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Ia mengerang kesakitan dan menangis kencang. Sepertinya jaringan-jaringan di dalam otaknya itu sudah hampir lumpuh seluruhnya.

“Maafkan aku.”

Efek racun itu terlalu cepat. Gadis itu kini mati rasa. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Bahkan bibirnya nyaris tidak bisa bergerak lagi.

“Aku mencintaimu.”

Kata-kata itulah yang terakhir dapat di dengar oleh gadis tersebut. Setelahnya, indra pendengarannya lumpuh total. Begitu pula dengan indra tubuh lainnya. Ia sudah mati separuhnya.

“Kau jahat, Luhan.”

Dan itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh gadis tersebut. Beberapa detik kemudian, ia sudah tidak bernafas. Tubuhnya terkulai lemas dalam pelukan Luhan. Ia masih memeluk tubuh gadis itu dengan erat.

“Maafkan aku.. Maafkan aku karena aku terlahir sebagai kakakmu.. Aku menyesal terlahir sebagai kakakmu.. Kumohon, maafkan aku..”

 

 

-Epilog-

 

 

Tiga hari setelah pemakaman adiknya di Busan, Luhan kembali ke tanah airnya. Ke negara darimana ia berasal. Ntah apa yang membuatnya kembali ke China.

Ia bilang pada setiap orang kalau adiknya meninggal karena keracunan sesuatu sehingga terkena penyakit hidrosefalus—penyakit yang sanggup membunuh penderitanya.

Sesampainya di China, Luhan langsung bertemu dengan Wu Fan. Laki-laki bertubuh tinggi itu menatap Luhan dengan kedua matanya yang sayu.

“Orang tuamu memberitahu suatu hal yang sangat penting kepadaku. Ia memintaku untuk menyampaikan hal ini padamu.”

Luhan tidak tertarik untuk mendengarnya. Tatapan matanya kosong. Ia tidak mau menatap Wu Fan yang menghela nafasnya berkali-kali.

“Aku sudah lama ingin memberitahumu tentang hal ini, tapi kau malah menghilang tanpa kabar,” ujar Wu Fan. Ia menghela nafasnya lagi.

“Cepat katakan apa yang ingin kau sampaikan, Wu Fan.”

Luhan menenggak wine kesukaannya. Minuman yang menjadi perantara kematian gadis yang ia cintai itu.

“Kau dan adikmu itu bukanlah saudara kandung. Kalian tidak mempunyai hubungan darah sama sekali.”

DEG!

 

-FIN-

 

*kabur bareng Kyungsoo ke KUA(?)* /PLAK!!!/

Well, jangan timpuk saya ya._. ff ini tiba-tiba aja terpikirkan gara-gara aku ngeliat ada ‘sesuatu’(?) dalam dirinya Luhan /dikepretluhan/ /dibasmitelekinetics/ /dinikahinkyungsoo(?)/ /slapped/

Ada yang tau maksud ‘something’ dari saya itu apa? XD lol, bingung gimana bilangnya wakwak yang jelas, intinya luhan itu sebenernya cowok banget(?), umm, I mean gentle. Kalo diliat dari matanya, dia punya image ‘naughty’ wqwq. The real naughty._. /apaini/ /dilempargaselpiji/ ya pokoknya gitulah XD

Hngg tadinya aku pengen bikin versi chaptered dari ff ini, dari awal sampe akhirnya, dan judulnya juga ganti jadi ‘Hush Hush’ + karakter ceweknya pake OC. Ada yang minat? Kalo komennya memenuhi kapasitas(?) nanti dibuat ^^ tapi gajanji bisa selesai cepet loh ya._.

Last, what do you think and feel about this story? ._.

19 responses to “A Confession, Wine and Us

  1. Pingback: Loverdose | fresh café·

  2. omaygat,
    ini sadis bnget,
    sumpah,
    demi apapun,
    Luhan smpe ngbunuh ade’ny sndiri,
    tpi trnyata mereka bkan sodara kandung,
    astaga..,
    ah, ya ampuunn..
    ngga tau mau komen apa,
    tpi aku suka ff ini,

  3. pas baca paragraf akhir rasanya kek kejedot pintu yg tiba2 dibuka XD /APAINI/

    wkwkwk…

    bagus ffnya penuh kejutan

    ff luhan selanjutnya ditunggu!!! 😀

  4. hii thor kenalin reader baru yg gk sopan ini hehehe =D ff’y aku suka bngtttt apalagi cast’t Luhan…!!nge-feel apalagi cast yeoja’y gk pke nama ulzzang2 gitu…jdi feel’y dpt.. 🙂 pokonya the best drh thor…keep writing ya thor!!!

  5. ska bnget cma critanya tpi agak ngeri jga pas luhan dg teganya masukin racun biar bsa bnuh adiknya sndri
    bda bnget krkter luhan dsni, keep writing ya authornim ……

Leave a comment